03527 2200445 4500001002100000005001500021035002000036008004100056020002200097041000800119082001100127084001700138100001600155245012300171260003000294300003200324520212000356650006302476650004202539990002502581990002502606990002502631990002502656990002502681990002502706990002502731990002502756990002502781990002502806990002502831990002502856990002502881990002502906990002502931990002502956990002502981990002503006990002503031990002503056INLIS00000000000782320221109083256 a0010-0520007823221109 | | ind  a978-602-8986-65-6 aind a347.09 a347.09 SUS a0 aSusilawetty1 aArbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa :bDitinjau Dalam Perpektif Peraturan Perundang-Undangan /cSusilawetty aJakarta :bGramata,c2013 axiv, 219 p.; 24 cm ;c24 cm aPenyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah diatur dalam peraturan perundang-undang pada zaman Pemerintahan Belanda. Sebagai landasan berpijak bagi orang Indonesia ( golongan Pribumi ) ingin menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan adalah Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang isinya: Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah, maka mereka wajib mengikuti peraturan yang berlaku bagi orang Eropa. Karena ketentuan pasal ini tidak memuat aturan lebih lanjut tentang arbitrase, maka untuk menghindari kekosongan hukum Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG langsung menunjuk aturan pasal-pasal arbitrase yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata Stb 1847 Nomor 52. Sehubungan dengan ketentuan arbitrase yang dimuat dalam Pasal 615 sampai dengan 651 Reglement Hukum Acara Perdata sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha, perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan nasional maupun internasional, maka pada tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ditetapkan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada umumnya, lembaga arbitrase memiliki kelebihan dibandingkan lembaga peradilan lain, yaitu: kerahasiannya sengketa para pihak terjamin, keterlambatan yang diakibatkan oleh proses prosedural dan administratif dapat dihindari, masing-masing pihak dapat memilih arbiter sesuai keinginan mereka, arbiter lebih berpengalaman dalam menyelesaikan sengketa yang berkaitan, para pihak dapat menentukan jalur hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa, mereka dapat menentukan proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase dan putusan arbiter merupakan putusan bersifat final yang mengikat para pihak. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur alternatif penyelesaian sengketa selain melalui arbitrase yakni melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Penyelesaian sengketa melalui hal tersebut sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara khusus, adapun sebagai payung hukumnya tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999." 4aArbitration, Industrial - Law and legislation - Indonesia. 4aDispute resolution (Law) - Indonesia. a23064/MKRI-P/XI-2014 a23063/MKRI-P/XI-2014 a23062/MKRI-P/XI-2014 a23061/MKRI-P/XI-2014 a23063/MKRI-P/XI-2014 a23064/MKRI-P/XI-2014 a23062/MKRI-P/XI-2014 a23061/MKRI-P/XI-2014 a23062/MKRI-P/XI-2014 a23064/MKRI-P/XI-2014 a23063/MKRI-P/XI-2014 a23061/MKRI-P/XI-2014 a23064/MKRI-P/XI-2014 a23063/MKRI-P/XI-2014 a23062/MKRI-P/XI-2014 a23061/MKRI-P/XI-2014 a23061/MKRI-P/XI-2014 a23064/MKRI-P/XI-2014 a23063/MKRI-P/XI-2014 a23062/MKRI-P/XI-2014