04708 2200217 4500001002100000005001500021008004100036020001500077035001900092041000800111082001100119084001700130100001800147245021600165260007100381300003200452504001600484520389700500650004904397650004404446INLIS00000000000913120200508204651200508||||||||| | ||| |||| ||ind|| a2006822005 0010-0520009131 aind0 a344.01 a344.01/TOT/w0 aTotoh Buchori00aWewenang pengadilan hubungan industrial dalam penyelesaian pemutusan hubungan kerja di Indonesia= Authority industrial relations court in the settlement of employment termination dispute in Indonesia (Disertasi) aBandungbUniversitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakartac2009 axiv, 320 hlm.; 29 cmc29 cm ap. 307-3017 aDalam konteks negara hukum Indonesia yang dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen 3 dalam kaitannya dengan kedudukan warga negara dan penduduk serta hak asasi manusia khususnya yang dituangkan dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (2) amandemen 2 UUD Negara RI Tahun 1945, peran pemerintah sangat besar, khususnya dalam melakukan pengawasan di bidang ketenagakerjaan berkenaan dengan hak-hak normatif akibat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atas pelanggaran berat yang dilakukan pekerja. Sehubungan dengan PHK tersebut, pada tanggal 28 Oktober 2004 keluar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 yang menyatakan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena dapat dilakukan PHK tanpa "due process of law" melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, sehingga putusan tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan praktisi hukum ketenagakerjaan mengenai kewenangan PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) atas pelanggaran berat tersebut. Karenanya diperlukan pengetahuan, kejelian, serta keluwesan hakim dalam menyelesaikan perselisihan tersebut, sehingga keputusannya tidak melanggar kewenangan Pengadilan Negeri (PN) secara hukum dan pertimbangannya tetap mengedepankan asas kepastian hukum, asas keadilan, asas kebiasaan, asas kemanfaatan dan asas keseimbangan. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu meneliti hukum sebagai norma positif dengan tipe penelitian deskriptif analitis yang memberi gambaran secara sistematis terhadap kewenangan PHI berdasarkan data kepustakaan dan fakta-fakta hukum yang ada yang didalamnya mencakup metode penemuan hukum (interpretasi sistematis/logis dan konstruksi hukum). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PHI berwenang dalam menyelesaikan perselisihan PHK atas pelanggaran biasa/berat yang merumuskan/tidak merumuskan perbuatan pidana didasarkan kepada: 1) Kaidah yang mengatur kewenangan PHI yaitu Pasal 56 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dan Teori Kompetensi Absolut yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, Retnowulan Sutantio, dan Yahya Harahap; 2)Adanya gugatan yang merujuk kepada PP (Peraturan Perusahaan) atau PKB (Perjanjian Kerja Bersama); 3) Adanya gugatan yang merujuk kepada surat edaran (SE) Menakertrans RI No. 13/MEN/SJ-HK/I/2005 jo Pasal 1603 O KUH Perdata sebagai alasan mendesak dilakukannya PHK yang berkaitan dengan penafsiran sistematis/logis; 4) Adanya gugatan yang petitumnya memohon agar diberlakukan asas keseimbangan atas penerapan Pasal 169 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 untuk diberlakukan sama dan sanksi yangsama bagi pekerja dan pengusaha/pemberi kerja yakni PHK melalui PHI bukan melalui PN dan hal ini berkaitan dengan argumentum per analogiam; 5) Adanya Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 113.K/PHI/PDT.SUS/2007 tanggal 9 Juli 2007 dimana termohon kasasi Sdr J dan IT dinyatakan bersalah mendobrak/merusak pintu ruang rapat perusahaan, dan berupaya membubarkan rapat serikat pekerja serta menghalang-halangi seseorang untuk menjadi Pengurus Serikat Pekerja dikategorikan sebagai pelanggaran berat atas Pasal 59 golongan IV Romawi I ayat 15, 16, dan 26 PKB perusahaan PT K Bandung dengan sanksi PHK tanpa pesangon. Hasil analisis dan fakta hukum di atas menguatkan akan kewenangan PHI untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara PHK atas pelanggaran berat dengan tidak melanggar kompetensi atau kewenangan Pengadilan Negeri, sehingga teori Residu tidak dapat diterapkan di PHI. Oleh karenanya untuk memperbaiki teori tersebut dirumuskan teori Perluasan Kompetensi sebagai berikut: "PHI berwenang menyelesaikan perselisihan PHK atas pelanggaran berat yang merumuskan/tidak merumuskan perbuatan pidana dalam hubungan kerja yang diatur dalam PP/PKB, atau ada gugatan yang menyebut secara tegas alasan mendesak sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1603 O KUH Perdata" 0aIndustrial laws and legislation - Indonesia. 0aLabor laws and legislation - Indonesia.