Cite This        Tampung        Export Record
Judul Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum / Widodo Dwi Putro
Pengarang Widodo Dwi Putro
EDISI Cet. 1
Penerbitan Yogyakarta : Genta, 2011
Deskripsi Fisik x, 270 hlm. ;24 cm
ISBN 978-602-98882-7-7
Subjek Hukum Positif
Abstrak Kritik atas positivisme hukum sebagai satu mazhab hukum yang dikenal dalam sejarah pemikiran hukum, telah banyak dilakukan oleh sejumlah sarjana dan intelektual. Hadirnya karya Widodo Dwi Putro (Dosen FH Universitas Mataram) berjudul Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum (Yogyakarta: Genta Publisihing, 2011) semakin menambah panjang deretan pengkritik positivism hukum. Lahirnya kritik dalam lalu lintas diskursus teoretik adalah bagian wajar dari dialektika keilmuan. Sebagaimana doktrin positivisme hukum sendiri yang terlahir dari kritik atas mazhab hukum kodrat yang telah ada sebelumnya. Mereka menolak hukum kodrat karena berbau metafisik dan idealistik sehingga gagal memberikan kepastian hukum. Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum itulah, positivisme hukum mengindentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan. Hanya dengan identifikasi tersebut, kepastian hukum akan diperoleh, karena orang tahu dengan pasti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya. Pemikiran semacam ini menyebabkan perpisahan tajam antara hukum dan moral. Hukum ditaati bukan karena moralitasnya, tetapi karena legitimasinya bahwa hukum dikeluarkan oleh otoritas yang berkuasa. Rasionalitas kritik terhadap positivisme hukum—dan karena itu takaran signifikansi buku ini terlihat, pertama-tama harus diletakan dalam konteks dinamika paradigmatik yang tak pernah selesai dalam historisitas keilmuan, sebab sebagai paradigma atau bangunan teoretik, positivisme hukum bukanlah satu-satunya paradigma dalam bangunan pemikiran hukum, dalam kajian studi hukum ada aliran hukum kodrat, mazhab sejarah-nya Von Savigny, realisme hukum, khususnya di Amerika Serikat yang diusung oleh Oliver W. Holmes, marxist theory of law dari Karl Marx, hukum progresif- Satjipto Rahardjo, critical legal studies dengan tokoh-tokohnya Roberto M. Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Mark Kelman, Mark Tushnet, Mortin Horwitz dan jack Balkin serta feminisme. Berikutnya harus dilihat sebuah kenyataan bahwa positivisme hukum telah menjadi arus utama yang secara turun-temurun diawetkan dalam ruang-ruang universitas di tanah air. Buku ini tidak saja dimaksudkan membahas aspek teoretik maupun normatif dari positivisme hukum, melain lebih dari itu, mencoba mengkritik fundamen atau landasan postivisme hukum itu sendiri. Buku ini tidak hanya memahami positivisme hukum sebagai ‘normal science’ melainkan tujuan berikutnya, secara dialektik mendorong lahirnya ide-ide perubahan paradigma dalam ranah ilmu hukum dengan melakukan kritik-reflektif pada “titik terkuat” paradigma positivisme hukum. Ada 5 argumen penulis mengapa Kritik-reflektif semacam ini perlu dilakukan : pertama, di Indonesia, penelitian terhadap paradigma hukum secara filosofis belum dilakukan secara sungguh-sungguh, bahkan boleh dikatakan belum dimulai sama sekali, kedua, ajaran positivisme hukum menempatkan hakim hanya sebagai corong undang-undang, tidak memberi ruang kepada hakim sebagai subjek yang kreatif, ketiga, ajaran positivisme hukum menggambarkan hukum sebagai wilayah steril terpisah dari moral, keempat, dalam tradisi civil law, peran pemerintah dan parlemen dominan dalam pembuatan hukum yang berupa peraturan-peraturan tertulis, dan kelima, ajaran positivisme hukum memberi pemahaman kepada hakim bahwa hukum semata-mata hanya berurusan dengan norma-norma. Secara epistemologis, kelahiran positivisme hukum tidak bisa dilepaskan dari mazhab positivisme yang lahir pada pertengahan abad ke-18 pasca revolusi industri (Inggris) dan revolusi borjuis (Perancis). Ia lahir sebagai anti tesis atas dominasi raja dan gereja sebagai rezim pengetahuan (epistemologis), walaupun untuk itu, tidak sedikit dari penganjur positivisme yang terbunuh menjadi korban otoritarianisme gereja. Sejak saat itu gereja dicampakan dari pusaran ilmu pengetahuan digantikan dengan peran universitas-universitas. Sebagai paradigma pemikiran, positivisme pada dasarnya berasal dari aliran filsafat yang meminjam pandangan, metode dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas (saintisme) yang dalam perkembangannya positivisme mempengaruhi bidang-bidang keilmuan : ekonomi, psikologi dan termasuk diantaranya adalah hukum atau yang selanjutnya dikenal sebagai positivisme hukum. Sebagaimana positivisme, positivisme hukum juga lahir sebagai kritik atas mazhab hukum yang ada sebelummya, yaitu mazhab hukum kodrat yang dianggap idealistik dan abstrak, sebaliknya positivisme hukum justeru berurusan dengan hal-hal yang kongret. Menurut aliran ini, nilai keadilan dan moral karena wataknya yang abstrak dan spekulatif tidak dapat dikatakan sebagai ilmu melainkan metafsika. Berdasarkan elaborasinya, penulis merumuskan tesis epistemologi positifis dalam bidang hukum: 1) Hukum harus bebas nilai dan objektif sehingga studi ilmiah atas hukum harus membebaskan diri dari anasir-anasir nonhukum (moral, politik, ekonomi, dsb) dan hukum berlaku, 2) hukum hanya berlaku oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari negara (yang berdaulat) dan 3) secara aksiologis, kepastian hukum adalah tujuan akhir dari hukum.
Bahasa Indonesia
Bentuk Karya Bukan fiksi atau tidak didefinisikan
Target Pembaca Umum

 
No Barcode No. Panggil Akses Lokasi Ketersediaan
00000023337 004.2/PUT/K Dapat dipinjam Perpustakaan Lantai 3 - Mahkamah Konstitusi RI Tersedia
pesan
00000023334 004.2/PUT/K Dapat dipinjam Perpustakaan Lantai 3 - Mahkamah Konstitusi RI Tersedia
pesan
00000023336 004.2/PUT/K Dapat dipinjam Perpustakaan Lantai 3 - Mahkamah Konstitusi RI Tersedia
pesan
00000023335 004.2/PUT/K Dapat dipinjam Perpustakaan Lantai 3 - Mahkamah Konstitusi RI Tersedia
pesan
Tag Ind1 Ind2 Isi
001 INLIS000000000007786
005 20221011033911
008 221011################g##########0#ind##
020 # # $a 978-602-98882-7-7
035 # # $a 0010-0520007786
041 $a ind
082 # # $a 004.2
084 # # $a 004.2 WID k
100 0 # $a Widodo Dwi Putro
245 1 # $a Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum /$c Widodo Dwi Putro
250 # # $a Cet. 1
260 # # $a Yogyakarta :$b Genta,$c 2011
300 # # $a x, 270 hlm. ; $c 24 cm
520 # # $a Kritik atas positivisme hukum sebagai satu mazhab hukum yang dikenal dalam sejarah pemikiran hukum, telah banyak dilakukan oleh sejumlah sarjana dan intelektual. Hadirnya karya Widodo Dwi Putro (Dosen FH Universitas Mataram) berjudul Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum (Yogyakarta: Genta Publisihing, 2011) semakin menambah panjang deretan pengkritik positivism hukum. Lahirnya kritik dalam lalu lintas diskursus teoretik adalah bagian wajar dari dialektika keilmuan. Sebagaimana doktrin positivisme hukum sendiri yang terlahir dari kritik atas mazhab hukum kodrat yang telah ada sebelumnya. Mereka menolak hukum kodrat karena berbau metafisik dan idealistik sehingga gagal memberikan kepastian hukum. Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum itulah, positivisme hukum mengindentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan. Hanya dengan identifikasi tersebut, kepastian hukum akan diperoleh, karena orang tahu dengan pasti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya. Pemikiran semacam ini menyebabkan perpisahan tajam antara hukum dan moral. Hukum ditaati bukan karena moralitasnya, tetapi karena legitimasinya bahwa hukum dikeluarkan oleh otoritas yang berkuasa. Rasionalitas kritik terhadap positivisme hukum—dan karena itu takaran signifikansi buku ini terlihat, pertama-tama harus diletakan dalam konteks dinamika paradigmatik yang tak pernah selesai dalam historisitas keilmuan, sebab sebagai paradigma atau bangunan teoretik, positivisme hukum bukanlah satu-satunya paradigma dalam bangunan pemikiran hukum, dalam kajian studi hukum ada aliran hukum kodrat, mazhab sejarah-nya Von Savigny, realisme hukum, khususnya di Amerika Serikat yang diusung oleh Oliver W. Holmes, marxist theory of law dari Karl Marx, hukum progresif- Satjipto Rahardjo, critical legal studies dengan tokoh-tokohnya Roberto M. Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Mark Kelman, Mark Tushnet, Mortin Horwitz dan jack Balkin serta feminisme. Berikutnya harus dilihat sebuah kenyataan bahwa positivisme hukum telah menjadi arus utama yang secara turun-temurun diawetkan dalam ruang-ruang universitas di tanah air. Buku ini tidak saja dimaksudkan membahas aspek teoretik maupun normatif dari positivisme hukum, melain lebih dari itu, mencoba mengkritik fundamen atau landasan postivisme hukum itu sendiri. Buku ini tidak hanya memahami positivisme hukum sebagai ‘normal science’ melainkan tujuan berikutnya, secara dialektik mendorong lahirnya ide-ide perubahan paradigma dalam ranah ilmu hukum dengan melakukan kritik-reflektif pada “titik terkuat” paradigma positivisme hukum. Ada 5 argumen penulis mengapa Kritik-reflektif semacam ini perlu dilakukan : pertama, di Indonesia, penelitian terhadap paradigma hukum secara filosofis belum dilakukan secara sungguh-sungguh, bahkan boleh dikatakan belum dimulai sama sekali, kedua, ajaran positivisme hukum menempatkan hakim hanya sebagai corong undang-undang, tidak memberi ruang kepada hakim sebagai subjek yang kreatif, ketiga, ajaran positivisme hukum menggambarkan hukum sebagai wilayah steril terpisah dari moral, keempat, dalam tradisi civil law, peran pemerintah dan parlemen dominan dalam pembuatan hukum yang berupa peraturan-peraturan tertulis, dan kelima, ajaran positivisme hukum memberi pemahaman kepada hakim bahwa hukum semata-mata hanya berurusan dengan norma-norma. Secara epistemologis, kelahiran positivisme hukum tidak bisa dilepaskan dari mazhab positivisme yang lahir pada pertengahan abad ke-18 pasca revolusi industri (Inggris) dan revolusi borjuis (Perancis). Ia lahir sebagai anti tesis atas dominasi raja dan gereja sebagai rezim pengetahuan (epistemologis), walaupun untuk itu, tidak sedikit dari penganjur positivisme yang terbunuh menjadi korban otoritarianisme gereja. Sejak saat itu gereja dicampakan dari pusaran ilmu pengetahuan digantikan dengan peran universitas-universitas. Sebagai paradigma pemikiran, positivisme pada dasarnya berasal dari aliran filsafat yang meminjam pandangan, metode dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas (saintisme) yang dalam perkembangannya positivisme mempengaruhi bidang-bidang keilmuan : ekonomi, psikologi dan termasuk diantaranya adalah hukum atau yang selanjutnya dikenal sebagai positivisme hukum. Sebagaimana positivisme, positivisme hukum juga lahir sebagai kritik atas mazhab hukum yang ada sebelummya, yaitu mazhab hukum kodrat yang dianggap idealistik dan abstrak, sebaliknya positivisme hukum justeru berurusan dengan hal-hal yang kongret. Menurut aliran ini, nilai keadilan dan moral karena wataknya yang abstrak dan spekulatif tidak dapat dikatakan sebagai ilmu melainkan metafsika. Berdasarkan elaborasinya, penulis merumuskan tesis epistemologi positifis dalam bidang hukum: 1) Hukum harus bebas nilai dan objektif sehingga studi ilmiah atas hukum harus membebaskan diri dari anasir-anasir nonhukum (moral, politik, ekonomi, dsb) dan hukum berlaku, 2) hukum hanya berlaku oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari negara (yang berdaulat) dan 3) secara aksiologis, kepastian hukum adalah tujuan akhir dari hukum.
650 # 4 $a Hukum Positif
990 # # $a 23334/MKRI-P/I-2015
990 # # $a 23335/MKRI-P/XI-2014
990 # # $a 23336/MKRI-P/XI-2014
990 # # $a 23337/MKRI-P/I-2015
Content Unduh katalog