Cite This        Tampung        Export Record
Judul Otonomi Desa dengan acuan khusus pada Desa di Propinsi Sumatera Selatan (Disertasi)
Pengarang Zen Zanibar
Penerbitan Jakarta Gramedia Pustaka Umum 1999
Deskripsi Fisik 479 hlm. ; 22 cm22 cm
ISBN 0 - 684 - 80230 - 9
Subjek Decentralization in government - Indonesia.
Rural development - Indonesia.
Autonomy. Local government - Law and legislation - Indonesia.
Abstrak Desentralisasi telah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda (1903). Pengejawantahannya di tingkat desa dimulai sejak diterbitkannya IGO 1906. Pengaturan periode tersebut bersifat pengakuan. Dalam masa RI otonomi desa diakui secara konstitusional dalam Pasal 18. Dalam perkembangannya otonomi desa mengalami pasang surut. Hal itu disebabkan oleh berbagai pertimbangan, mulai dari desa sebagai titik berat otonomi dengan mengatur desa sebagai daerah otonom, Dati III, sampai akhirnya sebagai kesatuan masyarakat hukum di bawah Kabupaten. pengaturan desa periode RI dengan peraturan baru sehingga desa lebih sebagai bentukan baru. Persoalan utama dalam disertasi ini: i. bagaimana perbedaan pengaturan desa diakui dan desa dibentuk; ii. Apakah kedua desa tersebut memiliki kewenangan yang sama dalam pengelolaan SDA. Desa yang diakui atau marga di Sumatera Selatan diatur dengan IGOB. Upaya perubahan dengan UU baru selama periode RI tidak banyak merubah penyelenggaraan marga karena sebagian besar gagal, kecuali UU No. Tahun 1979. Marga memiliki kewenangan mengelola SDA seperti pada masa berlakunya IGOB. IGOB terakhir dicabut oleh UU Desapraja tahun 1965. Tetapi karena UU ini ditunda pemberlakuannya, maka pengaturan marga kembali diselenggarakan menurut hukum adat yang sesungguhnya sama dengan IGOB. Karena itu sejak ditundanya pemberlakuan UU Desapraja pengaturan marga diatur dengan peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh mendagri, Perda, dan Keputusan Gubernur. Kewenangan dalam bidang SDA antara kedua desa tersebut sangat berbeda. Perbedaan dimaksud tercermin dari pengaturan otonomi desa yang diatur oleh IGOB, hukum adat dan UU baik dalam UU pemerintahan (di) daerah maupun UU tentang pemerintahan desa. Perbedaan pengaturan dan kewenangan tersebut ternyata dipengaruhi oleh konstelasi politik nasional. Upaya pemerintah pusat menerapkan desentralisasi ternyata mengalami kesulitan. Kesulitan tersebut mengarahkan pemerintah pusat untuk menata penyelenggaraan negara lebih sentralistik. Pengaturan desentralisasi dan otonomi desa dalam berbagai UU dalam periode RI secara teoritis sejalan dengan teori desentralisasi statis, tetapi tidak sesuai dengan teori desentralisasi dinamis. Karena itu pengaturan tersebut sebagian besar relevan dengan teori desentralisasi statis Hans Kelsen tetapi tidak relevan dengan teori desentralisasi dinamis. Dari sisi kebijakan bentuk peraturan perundang-undangan desentralisasi relevan dengan teori kebijakan (policy process) tetapi dari tata cara pembentukannya tidak sejalan dengan teori hirarki perundang-undangan (stufentheorie). Penggunaan istilah daerah otonom telah mengaburkan pengertian desentralisasi dan otonomi secara teoritis. Konsep desentralisasi dinamis patut diterapkan dengan cara mengatur kewenangan propinsi, kabupaten, kota dan desa dalam satu undang-undang secara tegas sekaligus untuk menetralisir otonomi luas dalam rangka demokratisasi di tingkat lokal.
Catatan Indeks : Indeks
Bahasa Inggris
Bentuk Karya Tidak ada kode yang sesuai
Target Pembaca Tidak ada kode yang sesuai

 
No Barcode No. Panggil Akses Lokasi Ketersediaan
00000021172 352.14/ZAN/o Dapat dipinjam Perpustakaan Lantai 3 - Mahkamah Konstitusi RI Tersedia
pesan
00000021194 352.14/ZAN/o Dapat dipinjam Perpustakaan Lantai 3 - Mahkamah Konstitusi RI Tersedia
pesan
Tag Ind1 Ind2 Isi
001 INLIS000000000000121
005 20200508200716
008 200508||||||||| | ||| |||| ||eng||
020 $a 0 - 684 - 80230 - 9
035 0010-0520000121
041 $a eng
082 0 $a 352.14
084 $a 352.14/ZAN/o
100 0 $a Zen Zanibar
245 0 0 $a Otonomi Desa dengan acuan khusus pada Desa di Propinsi Sumatera Selatan (Disertasi)
260 $a Jakarta $b Gramedia Pustaka Umum $c 1999
300 $a 479 hlm. ; 22 cm$c 22 cm
500 $a Indeks : Indeks
520 $a Desentralisasi telah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda (1903). Pengejawantahannya di tingkat desa dimulai sejak diterbitkannya IGO 1906. Pengaturan periode tersebut bersifat pengakuan. Dalam masa RI otonomi desa diakui secara konstitusional dalam Pasal 18. Dalam perkembangannya otonomi desa mengalami pasang surut. Hal itu disebabkan oleh berbagai pertimbangan, mulai dari desa sebagai titik berat otonomi dengan mengatur desa sebagai daerah otonom, Dati III, sampai akhirnya sebagai kesatuan masyarakat hukum di bawah Kabupaten. pengaturan desa periode RI dengan peraturan baru sehingga desa lebih sebagai bentukan baru. Persoalan utama dalam disertasi ini: i. bagaimana perbedaan pengaturan desa diakui dan desa dibentuk; ii. Apakah kedua desa tersebut memiliki kewenangan yang sama dalam pengelolaan SDA. Desa yang diakui atau marga di Sumatera Selatan diatur dengan IGOB. Upaya perubahan dengan UU baru selama periode RI tidak banyak merubah penyelenggaraan marga karena sebagian besar gagal, kecuali UU No. Tahun 1979. Marga memiliki kewenangan mengelola SDA seperti pada masa berlakunya IGOB. IGOB terakhir dicabut oleh UU Desapraja tahun 1965. Tetapi karena UU ini ditunda pemberlakuannya, maka pengaturan marga kembali diselenggarakan menurut hukum adat yang sesungguhnya sama dengan IGOB. Karena itu sejak ditundanya pemberlakuan UU Desapraja pengaturan marga diatur dengan peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh mendagri, Perda, dan Keputusan Gubernur. Kewenangan dalam bidang SDA antara kedua desa tersebut sangat berbeda. Perbedaan dimaksud tercermin dari pengaturan otonomi desa yang diatur oleh IGOB, hukum adat dan UU baik dalam UU pemerintahan (di) daerah maupun UU tentang pemerintahan desa. Perbedaan pengaturan dan kewenangan tersebut ternyata dipengaruhi oleh konstelasi politik nasional. Upaya pemerintah pusat menerapkan desentralisasi ternyata mengalami kesulitan. Kesulitan tersebut mengarahkan pemerintah pusat untuk menata penyelenggaraan negara lebih sentralistik. Pengaturan desentralisasi dan otonomi desa dalam berbagai UU dalam periode RI secara teoritis sejalan dengan teori desentralisasi statis, tetapi tidak sesuai dengan teori desentralisasi dinamis. Karena itu pengaturan tersebut sebagian besar relevan dengan teori desentralisasi statis Hans Kelsen tetapi tidak relevan dengan teori desentralisasi dinamis. Dari sisi kebijakan bentuk peraturan perundang-undangan desentralisasi relevan dengan teori kebijakan (policy process) tetapi dari tata cara pembentukannya tidak sejalan dengan teori hirarki perundang-undangan (stufentheorie). Penggunaan istilah daerah otonom telah mengaburkan pengertian desentralisasi dan otonomi secara teoritis. Konsep desentralisasi dinamis patut diterapkan dengan cara mengatur kewenangan propinsi, kabupaten, kota dan desa dalam satu undang-undang secara tegas sekaligus untuk menetralisir otonomi luas dalam rangka demokratisasi di tingkat lokal.
650 0 $a Autonomy. Local government - Law and legislation - Indonesia.
650 0 $a Decentralization in government - Indonesia.
650 0 $a Rural development - Indonesia.
Content Unduh katalog